KEBERKAHAN NARASI

Dani Al Fajri Mokodompit • 9 April 2021

KEBERKAHAN NARASI

Saya pernah menjalani masa-masa penuh obsesi pada narasi pemberdayaan negeri. Setidaknya sekitaran dua tahun saya tenggelam dalam bacaan tentang negara, politik, pertanian, perkebunan, koperasi, militer, dan berbagai literatur tentang bangkit dan jatuhnya sebuah bangsa.

Masa-masa penuh obsesi ini seperti candu didalam kepala. Saya bisa menghabiskan berjam-jam melakukan studi atas sebuah gagasan, bahkan sampai tahap pengambilan data di lapangan, berbincang dengan pelaku ekonomi, berbincang dengan komunitas penggerak di masyarakat. Udah kayak mau jadi Presiden lah. Kalah-kalah ketua Parpol. Ha ha ha....

Dari situ tulisan demi tulisan diproduksi setiap hari. Kawan-kawan masih bisa menjejak rekam digital teksnya. Dan sangat banyak video rekaman ceramah saya tentang berbagai narasi pemberdayaan negeri. Bagaimana teori agar negeri ini bangkit. Di roadshowkan kemana-mana. Gila memang.

Saya menggemakan kepemilikan bisnis bersama dengan koperasi, bagaimana koperasi bisa melawan kartel kapitalis dalam penguasaan lahan dan asset. Bagaimana harusnya koperasi berbasis sektor riil, bukan simpan pinjam.

Saya menggemakan tentang keharusan negeri ini kembali berproduksi. Keharusan untuk kembali menanami lahan kita kembali, kembali produktif. Agar terjadi penambahan value atas komoditas. Jangan jual bahan mentah.

Saya berbicara tegas tentang keberpihakan kepada pengusaha nasional. Tentang bagaimana berdikari dengan produk sendiri, kalo memang gak bisa banget, baru impor. Saya berbicara tentang proteksi anak negeri.

*

Ditengah gencarnya Saya bernarasi, hadirlah Kiyai Luqmanulhakim Ashabul Yamin , mengingatkan saya dengan sangat berani,

"Tidak ada peradaban besar yang lahir dari posko, paguyuban, orsospol, perkumpulan, gak ada. Peradaban besar itu hanya bisa lahir dari masjid."

Beliau melanjutkan 'tusukannya',

"Harus diawali dengan Masjid, kalo ini dilawan, narasi antum gak akan kemana-mana. Percaya sama saya, tunduk pada shiroh Nabi."

Percakapan ini berlangsung di tengah 2018. Dari bada isya hingga adzan subuh. Jujur saja, saat itu Saya sulit setuju dengan Kiyai Luqman. Walau tampak di permukaan setuju, tapi hati kecil saya melawan.

Bagi saya, yang dibutuhkan negeri ini adalah shifting produktifitas anak negeri, penambahan skill, aktivasi lahan tidur, bukan bagi beras ke anak yatim, bukan balik lagi ke masjid. Terlalu mundur bagi saya yang saat itu rada anti sama paltform Islam yang terlalu kental. Terlalu kanan. Sempit. Itu fikiran saya saat itu. Hampir sekuler.

Kiyai Luqman ngingetin, Rasulullah shallallahu'alaihiwassalam memulai dakwah dengan menghimpun ummat ke Masjid, sujud dulu kepada Allah, saling sayang dulu, saling peduli dulu, ditarbiyah dulu, bukan tiba-tiba bikin pasar atau ekspansi politik.

Saya masih susah mencerna, walau pun akhirnya sebuah momen saya menyerah juga. Tepatnya awal januari 2019 saya memutuskan untuk berbai'at ikut kafilah Dakwah Kiyai Luqman. Ikut turut serta meniti dakwah beliau.

*

Tepatnya sabtu yang lalu, 3 April 2021, Masjid Munzalan Mubarakan yang dipimpin Kiyai Luqman memulai sentuhan pada lahan wakaf 60 Hektar.

Sebuah gerak senyap yang sudah dikerjakan beberapa bulan terakhir, dan kemarin langsung launching nanam bareng. Sudah ada area riset agro yang Masjid Munzalan bangun dalam beberapa bulan terakhir. Senyap tapi jadi.

Dahulu saya banyak bicara tentang bisnis berbasis kepemilikan massal, Masjid Munzalan sudah praktek dengan Munzalan Tijaroh Centernya, bahkan bisnisnya basis wakaf produktif. Profit. Jalan. Konkret.

Dahulu saya banyak bicara tentang universal business income, mengcopaste negara sosialis dalam memback up kebutuhan warganya, Masjid Munzalan tanpa berteori macam-macam malah sudah membagi 700an ton beras per bulan, menyentuh ratusan ribu santri yatim dhuafa. Konkret.

Dahulu saya banyak bicara tentang platform pemberdayaan anak muda, bonus demografi jangan sampai gak ada kerjaan. Saat ini Masjid seluasan Munzalan bahkan menyerap 500an santri muda. Anak-anak muda. Masjid lho. Dedicated profesional berkontribusi.

Saya dulu yang banyak bicara, narasi nya hanya menjadi narasi, menguap begitu saja, gagal saya realisasikan.

Namun Masjid Munzalan yang tidak banyak bicara, bahkan menarasikan hal-hal sederhana saja, malah mampu mengeksekusi semua apa yang narasikan dahulu. Jujur hati saya malu sekali, Paltform Masjid lebih riil mengeksekusi  narasi yang berat-berat, yang dulunya saya remehkan.

Pada akhirnya saya harus akui, bahwa setiap NARASI harus dikembalikan ke masjid, agar berkah. NARASI hebat yang berkelebat tanpa dinaungi oleh Masjid, hanya akan menguap dan hilang begitu saja. Andai kata di eskekusi pun akan jauh keberkahannya. Banyak ganjalannya.

Sementara Narasi yang dibangun bersama Masjid, insyaAllah ada keberkahannya. ALLAH akan jaga.

*

Kiyai Luqman mengingatkan,

"Cukup-cukup bernarasi, sekarang antum turun ke lapangan, sudah benar itu bagi nasi box, jangan mikir kemana-mana lagi"

Beliau menambahkan,

"Bantu orang miskin, bantu anak yatim, bantu ke bawah, nanti yang diatas akan bantu kita, Allah akan turun jika kita bantu orang lemah. Begitu rumusnya."

Tak hanya sampai disitu, beliau sikat lagi saya,

"Ndak usah ngomong pemberdayaan, jika anak yatim gak antum urus, orang miskin gak antum perhatikan, bual saja, narasi akhirnya basi. Urus dulu orang lemah, nanti Allah akan ajarkan kita bagaimana melangkah."

Keras sekali, nusuk, tapi ya bener sih.

Manut Kiyai Luqman, fokus bagi Nasi Box, alhamdulillah Allah karuniakan platform Masjid Berkah Box di Area basis transmigran, KM11, Karang Joang Balikpapan.

Kak Nirwana Tawil  sebagai Direktur Masjid bahkan bergerak membeli hasil panen petani, dengan harga yang lebih mahal dari tengkulak. Hal ini natural saja, tanpa ada saya minta atau arah-arahkan. Memang inisiatif beliau.

Bukankah ini narasi yang dulu pernah ada, tentang sumber masalah di pertanian, tentang business model petani yang gak fit, tentang hasil panen yang dibeli murah ?

Masjid Berkah Box alhamdulillah mulai menjalankan program pendidikan gratis bagi santri usia sekolah. Gratis semua fasilitas. Ini akses pendidikan terbuka.

Bukankah ini yang dulu dinarasikan, tentang berlebihnya generasi produktif negeri ini, tentang terbatasnya ruang sekolah?

Masjid Berkah Box menggerakkan dana ummat, menggerakkan UMKM, membeli lahan tanah milik pengusaha property, menjadikannya asset wakaf yang menjadi mashlahat bersama ummat.

Lho.. bukannya ini narasi yang dulu, bukannya ini tentang economic gap, bukankah ini tentang menggerakkan arus belanja antar sesama anak bangsa?

Narasi yang dulu didengungkan, yang kata orang akhirnya gagal karena organisasinya saya tutup, alhamdulillah menjadi hidup kembali karena KEBERKAHAN MASJID. Iya.. karena keputusan kembali ke masjid.

Maka kami menyimpulkan, inilah yang namanya keberkahan narasi. Narasi yang tunduk pada Masjid, pada Dakwah, pada kepedulian, pada sunnah, insyaAllah lebih terjaga.

Semoga menjadi pelajaran.

Rasulullah shallallahu'alaihi wassalam membangun Masjid terlebih dahulu, sebelum membangun pasar.

Membangun kepedulian antar sesama kaum muslimin terlebih dahulu, muhajirin dan anshor, sebelum mendorong sahabat menjadi produktif dan berlimpah.

Mendidik sahabat dengan Al Quran terlebih dahulu, sebelum mengajaknya berperang ekspansi politik.

Mari kembali ke masjid.
Mari bersama sujud dulu ke Allah.
Mari hidupkan gardu energinya dulu.

Pertanian, perkebunan, industri pengolahan makanan, platform pasar ummat yang fair, arus pasok, ketahanan pangan, kepemimpinan, kohesi sosial, kekokohan masyarakat, apapun itu, MUDAH jika Allah azza wa jalla menolong kita.

Wattaqullah, wayu'allimukumullah.

Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajari kita.

Mengajari kita tentang bagaiaman seharusnya melangkah memperbaiki negeri.

Mari kembali pulangkan narasi kebangkitan negeri pada masjid. Biarkan narasi pulang ke rumahNya.

URS

Perusahaan Grup Astra
Astra Otoparts
Wilayah Grup Astra
Jadetabek