Mbok Saimah: The Survivor

Firman Muhammad • 16 January 2023
in group Masjid Astra

My life My Adventure - hidupku petualanganku-. Ini adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan betapa mengagumkannya kehidupan yang Tuhan berikan kepada manusia. Petualangan merupakan hal menarik yang membuat hal yang biasa menjadi sesuatu yang menakjubkan. Dan salah satu bagian bumi yang menawarkan cerita menakjubkan tersebut adalah hutan. Jika mendengar kata hutan, mungkin hal yang terlintas didalam pikiran kita adalah tentang pepohonan, tentang hewan-hewan yang menghuni didalamnya atau tentang hutan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia. Tak ada yang salah dengan definisi itu. Namun aku ingin menambahkan satu definisi lagi tentang hutan yang hanya sebagian orang saja pernah merasakannya. Hutan adalah tentang bertahan hidup, survival.

Bekerja didunia pertambangan adalah profesi yang memberikan banyak sekali tantangan. Sebagai contoh: sore ini aku baru saja keluar dari tengah hutan (meski sebenarnya kantor dan basecampku juga masih berada dihutan atau tepatnya diarea pertambangan batubara). Aku menyandarkan tubuhku yang lelah dikursi sembari menyalakan laptop. Kunikmati sejuknya hembusan AC yang menyentuh tubuhku. Meski wajahku tampak lusuh, aku mencoba mengingat kembali beberapa peristiwa yang membuat 3 hariku kebelakang dipenuhi dengan tantangan yang mengagumkan (mungkin perlu ditulis sebelum nantinya aku lupa). Puji syukur pada Tuhan karena telah memberiku pengalaman untuk belajar tentang arti perjuangan, kerja keras, kedamaian, kasih sayang, cinta, cara bertahan hidup dan indahnya Indonesiaku.

Aku sudah 3 tahun menghabiskan waktu ditengah hutan: makan, minum serta menghirup udaranya yang segar. Namun kali ini aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku karena mendapatkan satu lagi pelajaran hidup yang kuperoleh dengan cara yang tidak gratis. Tugas memperbaiki excavator di PT. Agatha Indo (bukan nama sebenarnya) adalah sebuah perjalanan dan pengalaman yang luar biasa. Diperlukan waktu 5 jam perjalanan darat dari basecamp sentosa (asrama kami) menembus rimbanya belantara dengan menggunakan mobil Hilux. Hujan mengguyur dengan derasnya ditengah perjalanan kami meski sebelumnya cuaca sangat cerah. Sebenarnya kondisi seperti ini bukanlah saat yang tepat untuk meneruskan perjalanan. Namun karena kami ingin secepatnya menyelesaikan pekerjaan maka kami tetap memaksakan diri untuk sampai ketempat tujuan. Motivasi kerja sebagai ibadah juga menjadi kekuatan yang membuat kami tidak mengeluh ataupun mencaci-maki kondisi alam dan cuaca yang tidak bersahabat. Langit yang cerah dan sinar matahari yang terik sangat kami perlukan untuk melewati medan jalan yang dipenuhi tanah liat, lumpur, ilalang dan pohon-pohon super raksasa dikanan-kiri jalan. Jika tidak sabar melewati situasi seperti ini, kita bisa saja menjadikan cuaca sebagai kambing hitam, kembali kekantor dan menunda pekerjaan hingga cuaca cerah. Akan tetapi mengharapkan langit bersahabat diawal bulan januari adalah hal yang sangat sulit karena cuaca tidak bisa ditebak, kadang sehari hujan sehari panas, kadang juga hujan turun terus-menerus. Sangat sulit sekali ditebak?

Didalam dunia pertambangan, pekerjaan dan cuaca merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Cuaca menjadi salah satu faktor yang menentukan cepat tidaknya sebuah pekerjaan dapat diselesaikan. Adakalanya bila cuaca dalam kondisi buruk dan disisi lain pekerjaan dituntut segera selesai, seringkali kami menyalahkan kondisi alam. Entah apa yang melandasi sikap ego seperti ini? Tuntutan terhadap Tuhan bahkan terlalu tinggi hingga membuat kami lupa berterima kasih atas anugerah yang diberikan-Nya, baik cuaca panas ataupun hujan. Tuhan yang salah ataukah kami yang tidak pernah bersyukur?

Namun untuk tugas kali ini, aku bersyukur bisa bekerjasama dengan Rahman dan Alfian. Karena dari mereka aku belajar untuk mengendalikan sikap ego dan tuntutan. Bisa kukatakan tak ada keluh kesah diwajah mereka. Bahkan yang ada hanya kegembiraan juga sikap belajar menikmati rintik hujan yang mengguyur deras diatas kabin mobil kami. Inilah yang membuat semua terasa indah meski kenyataannya, perjalanan yang kami lalui tidaklah mudah.

Setelah melewati 2 portal (kayu yang dipasang melintang ditengah jalan) dan merogoh kocek 150 ribu rupiah, kami akhirnya diperbolehkan melintas dijalan warga. Kondisi jalan kampung yang rusak karena hujan membuat warga sering memasang portal dan meminta pungutan liar untuk setiap kendaraan yang melintas, khususnya mobil-mobil perusahaan (aku baru sadar ternyata bukan hanya dikota-kota besar saja yang menerapkan sistem pemortalan, ditengah hutan pun sistem ini berlaku). Entah dana yang ditarik benar untuk keperluan perbaikan jalan atau masuk kedalam kas pribadi, kami tidak pernah tahu?

Hujan mengguyur semakin deras ketika kami memasuki Km.60 dari arah portal. Jalan terus menanjak tinggi. Oleh Rahman pedal gas ditekan keras, memasang double 4L untuk memudahkan kami melewati jalan berlumpur. Ternyata semakin tinggi bukitnya, jalanpun semakin licin. Kami tetap memaksakan diri meneruskan perjalanan hingga akhirnya ban mobil kami amblas di Km.85. Berbagai cara telah dicoba untuk melewati tanjakan ini namun semua sia-sia. Atas kesepakatan bersama, kami kembali ke portal untuk beristirahat sejenak hingga hujan berhenti.

Ketika langit senja tak lagi menyisakan tetes hujan, kami kembali melanjutkan perjalanan. Hujan boleh saja berhenti tapi kondisi jalan sudah terlanjur rusak. Rahman mengeluarkan semua jurus mengemudinya untuk menaklukkan medan perjalanan yang berat, lumpur berterbangan tak tentu arah, hawa dingin mulai terasa mengigit apalagi perlahan malam mulai menjelang. Alfian tak henti-hentinya menyemangati Rahman agar dapat mengeluarkan kami dari medan yang berat ini. Dikursi belakang aku tak kalah keras berdoa didalam hati dengan doa yang lengkap.

Tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan niat jika dilandasi dengan kesungguhan dan tujuan yang benar. Hal yang paling sulit pun pasti dapat dilewati. Malam telah menjelang ketika kami kembali bertemu tanjakkan Km.85 yang menawarkan medan yang semakin berat, kondisi jalan rusak parah. Aku bisa merasakan kecemasan diwajah Rahman dan Alfian yang menatap kedepan. Tapi aku tak hendak mengatakan apa-apa. Yang bisa kami lakukan hanya menyemangati dan mendoakan Rahman. Dikursi depan, Rahman berjuang keras dengan membanting stir kekanan dan kekiri dengan sangat cepat. Meski lambat mobil kami bergerak. Lumpur mulai terlontar ke berbagai arah. Sekali lagi Alfian terus menyemangati Rahman dan aku kembali berdoa. Dengan perjuangan keras, akhirnya Rahman berhasil menaklukkan tanjakkan Km.85 walau aroma kampas perseneling memenuhi ruang kabin dan masuk kedalam indra penciuman. Tapi kami tetap tertawa senang,

Entah berada diketinggian berapa kami sekarang? Tapi menurutku ini adalah bukit tertinggi yang kami capai selama perjalanan. Mobil merayap sangat pelan karena jarak pandang hanya sejauh 5 meter, sinar lampu tak mampu menembus tebalnya kabut. Malam semakin merambah dingin, aroma tanah yang masih basah menyebar, beberapa rintihan hewan menambah ketegangan. Untuk mencairkan suasana yang kian mencekam, kami memutar musik. Lantunan merdu suara Via Vallen memecah keheningan kami yang terus melaju menuju Km. 97 –Camp PT. Agatha Indonesia. Kami tiba camp PT. Agatha Indonesia tepat pukul 19.30 WIB (waktu jam tanganku). Ketika kulihat jam dikantin, waktu malah menunjukkan pukul 20.35 WITA. Inilah uniknya bekerja diarea Kalimantan Tengah, dalam waktu perjalanan 5 jam, kita bisa berada didua waktu yang berbeda, WIB dan WITA.

Rasa lelah bergerombol mengerogoti seluruh tubuh. Kami menyempatkan waktu untuk makan malam dengan menu: nasi putih, mie goreng, telur dan ikan asin (sederhana tapi tahan lama). Semua habis kami santap tanpa sisa. Ini terbukti dari bersihnya piring kami. Usai makan, kami diajak menuju rumah sederhana yang terbuat dari papan yang tak bercat dan tampak alami. Meski tak dapat melihat sekeliling karena gelapnya malam, aku masih bisa merasakan kemisterian hutan yang dipenuhi cerita-cerita yang belum terungkap. Angin berhembus dingin, rintik hujan mulai jatuh menyentuh tanah. Lelah memaksa kami untuk tidak peduli dengan pertengkaran cahaya kilat dan gemuruh halilintar dilangit, hujan turun semakin deras. Kami benar-benar terlelap.

***

Pagi masih menyimpan sisa hujan semalam. Namun dingin tak cukup kuat menghalangi kami menetapkan target pekerjaan di Km.69: Remove and Install Engine PC200-8M0. Tiba diunit, eksekusi perbaikan dilakukan. Koneksi hose, wiring engine, guard ataupun enginhood segera dilepaskan. Pekerjaan terus berlangsung hingga pukul 13.00 WITA. Usai beristirahat langit menggelap. Tak berselang lama hujan kembali mencurah dengan derasnya menimpa kami. Butuh waktu tiga jam agar pekerjaan remove engine dapat diselesaikan. Setelah selesai, pekerjaan selanjutnya adalah pemasangan engine. Namun akibat kondisi jalan yang rusak karena hujan, engine baru yang disimpan dicamp Km. 97 tidak bisa dibawa ke Km. 69.  Alhasil, pekerjaan pun ditunda. Setelah berdiskusi dengan Pak Jaiman, kami memutuskan untuk pulang ke kantor dan akan kembali jika pemasangan engine dapat dilanjutkan.

Dalam perjalanan pulang ke kantor, di Km.65 apa yang kami khawatirkan terjadi juga. Mobil mengalami kerusakkan parah. Meski dapat berjalan, Drive shaftnya mengeluarkan suara yang berisik. Jujur, kali ini aku sangat takut. Bagaimana tidak takut jika ditengah hutan mobil berhenti total? Bagaimana cara menghubungi teman-teman dikantor untuk meminta bantuan jika signal saja tidak ada? Dijalanan yang jarang dilewati kendaraan, berapa lama kami harus menunggu sedangkan langit sore mulai beranjak malam? Mungkin Rahman dan Alfian juga merasakan ketakutan yang sama? Sejak saat itu kami tak lagi banyak berbicara. Kami diam sepanjang jalan (mungkin berdoa agar kami bisa keluar dari hutan ini dengan selamat).

Setelah 6 jam berjalan merayap lambat, mobilpun akhirnya tiba dijalur hauling batubara. Disinilah kami baru bisa bernafas lega meski kantor kami masih berjarak 60 Km lagi. Paling tidak kami masih bisa menghubungi teman-teman dengan menggunakan radio jika sewaktu-waktu mobil benar-benar berhenti. Tuhan, terima kasih untuk keselamatan yang Engkau berikan kepada kami.

***

Dua minggu berikutnya, sms Pak Jaiman masuk. Ia menginformasikan bahwa engine dan alat angkat telah siap. Ini artinya kami harus berangkat ke PT. Agatha Indonesia walau hari telah menjelang sore. Sebenarnya kami belum siap berangkat kesana karena hujan sudah turun selama tiga hari berturut-turut. Masalah ini belum ditambah kondisi mobil yang rusak parah. Alfian membaca rasa malas diwajah kami. Dengan suara tenang ia mengingatkan tentang ikrar budaya SOLUTION yang menjadi budaya perusahaan kami, dimana huruf S kependekkan dari serve yang artinya memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Ia menjelaskan pengertian tentang pentingnya arti sebuah pelayanan. Kami mendengarkannya dengan seksama. Setelah itu, semangat kami kembali tumbuh dan tugas pun dilaksanakan.

Mobil Hilux LVE 128 menjadi pilihan alternatif kami meskipun kondisinya belum bagus 100%. Tapi mobil ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi mobil yang lain. Pukul 15.35 WIB kami berangkat. Diperjalanan kami bersyukur karena langit berubah cerah, kamipun tidak perlu membayar biaya portal. Ketika perjalanan kami rasa sempurna, keberuntungan malah berhenti di Km. 76. Mobil mengalami kerusakkan. Kami mencoba memperbaikinya namun mobil tetap tidak bisa berjalan. Karena tak ada lagi jalan keluar, kami berhenti memperbaiki mobil dan duduk merenung didalam kabin. Dalam keputus asaan menunggu, tiba-tiba datang sebuah truk yang akan menuju ke Km.105. Kami menumpang truk itu meski hanya duduk dibak belakang bersama penduduk lokal. Kami sangat bersyukur tidak bermalam ditengah hutan. Truk merayap perlahan membelah malam yang diselimuti kabut. Aku memeluk erat tasku untuk melawan hawa dingin yang semakin mengigit. Tiga jam kemudian kami pun akhirnya tiba di basecamp PT. Agatha Indonesia.

***

Puji syukur kepada Tuhan yang membantu kami menyelesaikan pekerjaan dalam waktu 2 hari. Meskipun cuaca tak selalu cerah, hujan yang turun tetap kami  sambut dengan tersenyum. Bagiku banyak hal patut disyukuri karena kami tidak tinggal dilokasi logging. Lokasi ini yang hanya bisa menawarkan kehidupan yang sangat terbatas: akses jalan yang berat, komunikasi yang sulit (tidak ada signal, BBM, SMS, Whats’Up, telpon ataupun televisi). Belum lagi dengan menu makanan yang tidak berubah setiap hari: nasi, mie goreng, telur dan ikan asin (3 kali sehari: pagi, siang dan malam). Bisa dibayangkan bagaimana beratnya kerja sistem pencernaan. Hal ini ditambah waktu istirahat (cuti 2 minggu) yang hanya diberikan 6 bulan sekali. Dalam 12 bulan berarti karyawan hanya punya waktu 1 bulan untuk keluarga. Sungguh pekerjaan yang sangat berat.

Akan tetapi dibalik penderitaan yang kuanggap berat itu, ternyata terdapat wanita luar biasa yang telah mengalami pahit getir kehidupan ditengah hutan dalam kurun waktu yang sangat lama. Saimah, demikian namanya tertulis disebuah kardus yang tertempel didinding kayu rumahnya yang sederhana. Wanita dengan senyum ramah. Wanita yang begitu gesit membukakan kami pintu rumahnya ketika bertamu. Wanita hebat yang sanggup bertahan hidup ditengah hutan sendirian. Menaklukkan kegelapan malam dengan bermodalkan lampu minyak dan hanya bertemankan seekor kucing bernama Rosmini dan seekor anjing yang dipanggil Grandong.

“Rosmini…” panggilnya

“Meong…” demikian kucing itu menjawab. Kucing itu lalu mendekat kepangkuan Mbok Saimah sambil mengesek-gesekkan tubuhnya dengan manja layaknya ibu dan anak. Bisa dibayangkan bagaimana mungkin seorang wanita yang berumur 50 tahun ini dapat tinggal ditengah hutan selama 20 tahun sendirian. Tak ada komunikasi verbal selain dengan hewan-hewan peliharaannya.

Menurut Mbok Saimah, ia telah tinggal disini sejak tahun 1994. Awalnya ceritanya, ia dulu bekerja di PT. Forta sebagai juru masak. Semula terdapat 15 karyawan yang bekerja diperusahaan kayu itu. Namun seiring berjalannya waktu, satu persatu dari karyawan tersebut mulai pindah ataupun mengundurkan diri karena tidak tahan dengan pekerjaan yang dirasakan sangat berat. Alhasil tinggallah Mbok Saimah seorang diri yang bertahan dicamp PT. Forta hingga perusahaan itu ditutup.  Dengan berbekal perlengkapan seadanya, Mbok Saimah mencoba bertahan hidup dengan mengandalkan apa yang tersedia dari alam. Berkebun, menanam pohon, sayur-sayuram, umbi-umbian, mencari kayu bakar, mengurus Rosmini dan Grandong adalah keseharian yang dijalaninya dengan hati ikhlas. Tak ada barang mewah yang tersedia dirumahnya. Rumah kayu yang tidak bercat itupun pemberian PT. Agatha Indonesia untuk menggantikan rumah lamanya yang sudah tua dan hampir roboh. Apa ia menyesal dengan apa yang dijalaninya. Tidak, tidak sama sekali. Ia bahkan begitu bahagia menjalani kehidupan yang dirasa memberikan banyak ketenangan dan kedamaian. Tak ada keluh kesah yang keluar dari kata-katanya ketika menceritakan itu semua. Hidup dibawah naungan langit, berdindingkan pepohonan, bermandikan sinar mentari serta tenggelam pada cahaya rembulan baginya menciptakan makna kedekatan seperti tanpa batas dengan Tuhan.

Ditengah carut marutnya kondisi negeri ini, ketika hampir setiap orang mengeluh dengan apa yang tidak dimilikinya. Mbok Saimah malah tersenyum penuh syukur atas karunia Tuhan. Ketika setiap orang begitu tamak dan rakus menggeroti kekayaan alam Indonesia, mbok Saimah dengan ketulusan malah menciptakan keharmonisan alam dengan menanam begitu banyak pepohonan. Mbok Saimah bahkan tidak pernah meminta balasan atas apa yang telah dilakukannya. Yang ia impikan hanyalah kelestarian alam ini tetap terjaga dan bisa bertahan hingga anak cucu kita. Baginya itu adalah sebuah impian yang luar biasa.

“Apa Mbok enggak takut sendirian?” tanyaku

“Mbok sudah terbiasa hidup seperti ini, Nak” jawabnya tenang

“Apa Mbok enggak takut diganggu orang atau binatang?”

“Disini Mbok cari makan. Mereka juga cari makan. Jadi enggak perlu saling mengganggu. Dirumah Mbok ini, banyak orang singgah ketika habis berburu. Biasanya Mbok diberi makanan atau apa saja yang mereka bawa. Bahkan Bapak Bupati bersama rombongannya pun pernah jauh-jauh datang kesini hanya untuk melihat Mbok” lanjutnya. Aku tersenyum mendengarnya. Menurutku, Mbok Saimah pantas mendapatkan lebih dari sekedar kunjungan. Ia kembali bercerita sembari mengelus-ngelus Rosmini. Pernah suatu ketika ada orang bertanya.

“Mbok sama siapa dirumah?”

“Sama Rosmini”

“Rosmini? Dimana ceweknya, Mbok. Kok enggak kelihatan? mata orang itu membulat penuh kebingungan.

Tuh ceweknya” jawab Mbok santai sambil menunjuk kucingnya

“Hahaha. Mbok ada-ada saja” orang itu tertawa melihat Rosmini

Mbok Saimah melanjutkan ceritanya. Sebenarnya ia bukannya tidak punya keluarga. Ia memiliki seorang anak yang kini tinggal di Jawa. Hanya saja mereka sudah lama tidak pernah bertemu. Sebab setelah suaminya meninggal dan merantau selama 20 tahun di Kalimantan, ia baru satu kali pulang ke Jawa. Tentu sebuah perjuangan yang sangat berat menahan kerinduan terhadap keluarga selama bertahun-tahun. Aku saja yang baru 3 bulan jauh dari keluarga, rindunya setengah mati, apalagi mbok Saimah? Aku salut dengan kerja keras dan perjuangannya.

“Fir, ayo makan” panggil Rahman. Kutengok Rahman sejenak lalu memintanya menunggu. Sebenarnya masih banyak cerita-cerita lain yang ingin aku dengar dari mbok Saimah. Namun karena waktu makan malam sudah tiba, akupun berpamitan padanya. Wanita itu sempat memintaku makan dirumahnya.

“Terima kasih, Mbok. Kami makan dikantin saja, enggak enak sama Mbak kantinnya” jawabku dengan halus

“Ya sudah. Nanti singgah lagi ya biar bisa kisah-kisah” pintanya sembari tersenyum. Akupun membalasnya dengan senyuman.

Demikianlah pertemuanku singkatku dengan mbok Saimah. Sosok luar biasa yang mengajariku tentang arti terima kasih kepada Tuhan, tentang arti rasa syukur, perjuangan, kerja keras, tanggung jawab, kedamaian, cinta kasih, ketenangan alam, tentang bertahan hidup ditengah keterbatasan serta indahnya Indonesiaku.

Aku yang selama ini tak pernah bersyukur, menganggap diri paling menderita, mencaci maki keadaan yang tidak sesuai dengan harapanku, menangisi kekecewaan yang kualami ataupun melihat sisi buruk yang kumiliki tanpa pernah memandang berbagai nikmat yang Tuhan berikan. Aku yang telah diberkahi anugerah tanpa batas. istri yang mencintaiku, anak-anak yang tumbuh lucu, kesehatan, penghasilan, teman, basecampku yang dilengkapi fasilitas mewah (paling tidak kami masih bisa berkomunikasi lewat telpon), variasi makanan yang berbeda setiap harinya agar kami tidak bosan, maupun cuti site yang diberikan setiap 3 bulan. Sungguh, nikmat-Mu luar biasa, Tuhan.

Usai menyelesaikan pekerjaan, kami berpamitan dengan Pak Jaiman. Ia meminta kami makan siang terlebih dulu sebelum pulang. Tiga bungkus suguhan ala logging: nasi, mie goreng, telur dan ikan asin.

“Kalau kalian pulang enggak makan dulu, kalian bisa kenapa-kenapa dijalan. Tapi karena kalian sudah makan disini, insya allah kalian akan sampai dikantor dengan selamat” ucap Pak Jaiman sembari tertawa.

Kamipun tersenyum mendengar ucapannya. Sungguh, makanan logging kali ini benar-benar terasa nikmat. Setelah makan, kami memasukkan barang-barang kedalam mobil. Kami lalu menjabat tangan Pak Jaiman dan mengucapkan banyak terima kasih atas segala bantuan dan kebaikkanya. Mentari sore perlahan mulai beranjak meninggalkan langit dan menepi dibibir bumi. Cahayanya yang terang masih terlihat dari celah-celah pepohonan. Kami menikmati perjalanan pulang dengan perasaan gembira. Tak ada lagi rasa takut. Perjalanan kali ini memberikan makna kehidupan bagiku yang masih terus belajar tentang rasa syukur atas karunia Tuhan.

Terimakasih pula aku ucapkan kepada Mbok Saimah, yang menjadi sumber inspirasiku. The Survivor From Central Borneo.