8 Catatan Penting I’tikaf

Sutrisno Tnoz • 11 April 2023

Risalah Harian Ramadhan ke-20

Kita sudah sampai di akhir sepuluh hari kedua.
Memasuki sepuluh hari terakhir ada satu ibadah yg rutin dilakukan kaum muslimin yaitu i'tikaf. Para risalah kali ini kita akan bahas fiqh i'tikaf semoga bermanfaat 

8 Catatan Penting I’tikaf
Oleh: Junaedi Putra, S.Pd. S.Ag.

Hari ini kita akan bahas tentang fiqh i'tikaf semoga bermanfaat 

1. Definisi 
Definisi I’tikaf secara Bahasa adalah  إقامة (berdiam) atau “الاحتباس”   (memenjarakan)
Secara istilah adalah 
الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ مَخْصُوصَة
Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu” 
 I’tikaf merupakan salah satu ibadah yang disyari’atkan dalam Islam. Allah berfirman

… فَاْلآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ.
Artinya:  …maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang   ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” (QS. al-Baqarah, 2: 187)
Rasulullah bersabda.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشَرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim]
bahkan salah satu fungsi masjid adalah untuk i'tikaf
Allah berfirman
وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ وَعَهِدْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk dan orang yang sujud.” (QS. Al-Baqarah, 2: 125)

2. Hukum I’tikaf 
Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.” (HR. Muslim, no: 1167)

3. Waktu I’tikaf
Secara umum, kita boleh melakukan I’tikaf kapanpun kita mau. Namun khusus untuk sepuluh hari terakhirlebih ditekankan lagi kesunnahannya karena Rasulullah selalu melakukannya bahkan “mengqodho’nya” di tahun lain jika tahun sebelumnya beliau safar.
Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
إِذَا كَانَ مُقِيماً اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ وَإِذَا سَافَرَ اعْتَكَفَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ عِشْرِينَ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau bersafar, maka beliau beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.” (HR. Ahmad, no: 12036)
Kadang Rasulullah “mengganti” I’tikafnya itu di bulan syawal
Ada riwayat dari Ummu al-Mukminin, yang menyatakan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawwal dan dalam satu riwayat beliau melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan Syawwal. (HR. Bukhari: 1936 dan Muslim: 1172. Hal ini dilakukan karena beliau pernah meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan Syawwal.)
I’tikaf bisa menjadi wajib jika dinazarkan.
‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut. (HR. Bukhari, no: 1927.)

4. Batas Waktu I’tikaf
Tidak ada batasan khusus dalam syari’at tentang waktu I’tikaf. Boleh lama boleh sebentar seperti satu jam atau kurang dari itu
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” (Al Muhalla, 5: 180)
dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,
إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف
“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beri’tikaf.” (HR. Ibnu Abi Syaibah) 

5. Syarat I’tikaf
Syarat I’tikaf
Syarat-syarat i’tikaf adalah sebagai berikut:
A. Islam
Allah berfirman
وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلا وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنْفِقُونَ إِلاوَهُمْ كَارِهُونَ (٥٤)
“Dan tidak ada yang menghalangi untuk diterimanya nafkah-nafkah mereka, melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak mengerjakan sembahyang melainkan dengan malas, dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At Taubah: 54).
mafhum mukholafahnya adalah, syarat utama diterimanya amal ibadah apapun adalah iman dan Islam.
B. Niat
I’tikaf seorang yang gila, mabuk, dan pingsan tidaklah sah karena mereka tidak mampu berniat, tidak pula berakal. Padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya “ (HR. Bukhari, no: 1, Muslim, no: 1907)
Disyari’atkannya niat adalah untuk membedakan adat dan syari’at. Orang yang mabuk, gila,pingsan, dan tidak berakal tidak sah karena mereka tidak berniat
C. Suci dari Haidh dan Nifas
Firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (An Nisa: 43).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Allah tabaraka wa ta’ala melarang para hamba-Nya yang beriman mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk sehingga dia tidak mengetahui makna surat yang dibacanya. Demikian pula Dia melarang mereka yang junub mendekati tempat shalat, yaitu masjid kecuali hanya sekedar lewat dari satu pintu ke pintu yang lain tanpa berdiam di dalamnya.” (Tafsir Quran al-’Azhim)
Dalil lain adalah Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang tengah melaksanakan ihram kemudian tertimpa haidh,
افْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Kerjakanlah apa yang dikerjakan seorang yang berhaji, namun janganlah engkau berthawaf di Bait al-Haram hingga kamu suci.” (HR. Bukhari, Muslim)
lalu perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu,
كُنَّ الْمُعْتَكِفَاتُ إذَا حِضْنَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِخْرَاجِهِنَّ عَنْ الْمَسْجِدِ
“Kami wanita yang beri’tikaf, apabila mengalami haidh, maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk mengeluarkannya dari masjid.” (Ibnu Jarir dalam Al Mughni 5/174 menisbatkan riwayat ini pada Abu Hafsh al ‘Akbari dan dia berkata, “sanad riwayat ini jayyid.”)
Seorang wanita yang mengalami isthadhah diperbolehkan beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ ، فَكَانَتْ تَرَى الدَّمَ وَالصُّفْرَةَ ، وَالطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهْىَ تُصَلِّى
“Salah seorang istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf bersama beliau dalam keadaan beristihadhah. Istri beliau tersebut mengeluarkan darah dan lendir berwarna kuning, dia mengerjakan shalat dan di bawah tubuhnya terdapat bejana (untuk menampung darah tersebut).” (HR. Bukhari, no: 304)
D. Bagi wanita, memperoleh Izin dari suami dan aman dari fitnah
dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ أَنْ تَعْتَكِفَ فَأَذِنَ لَهَا فَضَرَبَتْ فِيهِ قُبَّةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa beri’tikaf di bulan Ramadhan. Apabila beliau selesai melaksanakan shalat Subuh, beliau masuk ke dalam tempat I’tikaf. (Salah seorang perawi hadits ini mengatakan), “Maka ‘Aisyah pun meminta izin kepada nabi untuk beri’tikaf. Beliau pun mengizinkannya dan ‘Aisyah pun membuat kemah di dalam masjid.” (HR. Bukhari, no: 1936)
وَسَأَلَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَسْتَأْذِنَ لَهَا
“Hafshah meminta bantuan ‘Aisyah agar memintakan izin baginya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk beri’tikaf).” (HR. Bukhari, no: 1940)
E. Dilaksanakan di Masjid, lebih utama lagi jika dilakukan di masjid yang dilaksanakan Shalat Jum’at di dalamnya.
Firman Allah ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka (para wanita), sedang kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyatakan bahwa ketika nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf, beliau mengeluarkan kepalanya dari masjid agar dapat disisir oleh ‘Aisyah dan beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak. (HR. Bukhari: 1925, Muslim: 297)
Ijma’ yang diklaim oleh sejumlah ulama. Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
أجمع العلماء على أن الاعتكاف لا يكون في إلا في المسجد
“Ulama bersepakat bahwa I’tikaf hanya boleh dikerjakan di dalam masjid.” (Al Jami’ li Ahkam Al Quran 2/324)
Masjid di Indonesia dibedakan menjadi 2 yaitu masjid jami’ yang digunakan untuk shalat jum’at,dan masjid biasa yang kadang disebut dengan mushola,langgar,dll.
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan,
لا اعتكاف إلا في مسجد تجمع فيه الصلوات
“Tidak ada I’tikaf melainkan di masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat berjama’ah.” (HR. Abdullah ibn Ahmad dalam Masailnya 2/673 dari ayah beliau (imam Ahmad))
Lebih disukai jika hal itu dilaksanakan di masjid Jami’ (masjid yang juga digunakan untuk shalat Jum’at). (Al Majmu’ 6/480)

6. Apakah puasa menjadi syarat I’tikaf
Menurut jumhur ulama bukanlah syarat.
firman Allah ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)
“Sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).
Ayat ini menunjukkan pensyari’atan puasa tanpa dibarengi puasa karena tercantum secara mutlak tanpa ada pembatasan.
hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ « فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ »
“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.(HR. Bukhari, no: 1927)
dari Ibnu ‘Abbas ra. dengan sanad yang shahih, bahwa beliau berpendapat bahwa seorang yang beri’tikaf tidak wajib berpuasa kecuali dia mewajibkan puasa atas dirinya. (HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubra:  8370)

7. Pembatal I’tikaf
a. Jima’ (bersetubuh)
Allah ta’ala berfirman,
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ“
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).
Ath Thabari rahimahullah mengatakan,
“Pendapat yang paling benar menurutku adalah pendapat yang menyatakan bahwa maknanya adalah jima’ dan segala hal yang serupa dengan itu yang mengharuskan pelakunya mandi. Kemungkinan yang ada hanya dua, yaitu memberlakukan ayat tersebut secara umum atau mengkhususkan ayat tersebut untuk sebagian makna dari mubasyarah. Banyak hadits dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara jelas menginformasikan bahwa istri-istri beliau menyisir rambut beliau ketika sedang ber-i’tikaf, maka dapat diketahui bahwa makna mubasyarah dalam ayat ini hanya mencakup sebagian maknanya, bukan seluruhnya.” (Jami’ul Bayan 2/181)
b. Keluar dari Masjid
‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepala beliau ke dalam kamarku, sementara beliau berada di dalam masjid, dan saya pun menyisirnya. Beliau tidak akan masuk ke dalam rumah ketika sedang ber-i’tikaf, kecuali ada kebutuhan mendesak.” (HR. Bukhari: 1925; Muslim: 297)
c. Memutus Niat untuk ber-i’tikaf
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya “ (HR. Bukhari,no: 1, Muslim, no: 1907)

8. Berbagai Perkara yang Dianjurkan ketika ber-i’tikaf
a. Memperbanyak ibadah mahdhah
Tujuan I’tikaf adalah agar fkus ibadah,maka semestinya saat I’tikaf yang dilakukan adalah memperbanyak ibadah apapun baik itu shalat, tilawah, dzikir, dll.
b. Melakukan ibadah Sosial yang tak memakan waktu lama.
seperti zakat,memberi fatwa, dll. Hal ini disyari’atkan karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan para istri beliau. (HR. Bukhari: 1933), nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dan memberi pengarahan kepada para sahabatnya. (HR. Muslim: 1167), dan Nabi juga disisirkan rambutnya tatkala beliau tengah ber-i’tikaf. (HR. Bukhari: 1925; HR. Muslim: 297) 
c. Membuat Sekat atau Tenda di dalam Masjid
tujuannya untuk mengisolir diri dari para mu’takif lainnya. Hal ini berdasarkan perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Muslim: 1167) dan para istri beliau (HR. Bukhari: 1929)
terlebih lagi bagi wanita yang ber-i’tikaf di masjid yang digunakan untuk shalat berjama’ah agar dirinya tidak terlihat oleh para pria sehingga tidak menimbulkan fitnah.
d. Meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Merupakan tanda baiknya keislaman seorang adalah meninggalkan segala yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi: 2318)
e. Bergegas Menunaikan Shalat Jum’at
Berdasarkan keumuman hadits yang menganjurkan seorang untuk bersegera pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at. (HR. Bukhari, no: 841; Muslim, no: 850). Hal ini bagi yang I’tikaf di masjid yang tidak mengadakan shalat jum’at. Dan keluar dari masjid dalamkonteks ini tidak membatalkan I’tikaf karena alasan syar’i. 
f. Tetap Berdiam di Masjid ketika Malam ‘Ied
Sebagian ulama menganjurkan agar mu’takif tetap berdiam di masjid pada malam ‘Ied dan baru keluar ketika hendak menunaikan shalat ‘Ied. (Al Muwaththa:1/315; Al Majmu 6/475; Asy Syamilah)

Wallahu a'lam bisshowwab