Bekerja di Luar Kota, Puasa atau Tidak?

Hari ini saya di luar kota, kembali lagi merasa bimbang dan ragu, mau puasa atau tidak? Setelah kembali mengkaji pendapat ulama, Bismillah,  saya putuskan untuk berpuasa di hari pertama karena berangkat dari Jakarta, kemarin, Selasa, 28 Maret 2023 pukul 10.00 WIB. Sedangkan di hari ini, hari kedua, Rabu, 29 Maret 2023, saya mengambil rukhsoh untuk tidak berpuasa, di kota yang notabene secara mayoritas tidak berpuasa. 

Semoga langkah yang saya ambil dan rekan-rekan yang mempunyai isu sama, tidak mengurangi semangat kita untuk terus berpuasa dan menyelesaikan ramadhan dengan sebaik-baik eksekusi. Bismillah

Namun, jika ia memilih melakukan rukhsah, itu lebih baik. Misalnya, tidak berpuasa pada Ramadhan bagi musafir lebih baik daripada berpuasa.

Sebagai referensi, berikut disampaikan pendapat ulama yang saya sadur dari website https://www.republika.co.id/berita/nk28wd21/konsep-rukhsah-dalam-islam

s
Ilustrasi Musafir

Alquran menegaskan, Allah tidak akan membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya (QS al-Baqarah [2]: 286). Apa pun jenis perintah Allah yang wajib dijalankan, tidaklah keluar dari batas kesanggupan si hamba untuk melaksanakannya. Bahkan, hukum wajib tersebut bisa gugur jika memang seorang mukallaf (manusia yang menjalankan kewajiban) tidak sanggup melaksanakannya.

Dalam fikih Islam ada istilah rukhsah yang dalam Bahasa Arab diartikan dengan keringanan atau kelonggaran. Dengan adanya rukhsah, manusia mukallaf bisa mendapatkan keringanan dalam melakukan ketentuan Allah SWT pada keadaan tertentu, seperti saat kesulitan. Ilmu ushul fikih menyebutkan, rukhsah bisa membolehkan atau memberikan pengecualian dari prinsip umum karena kebutuhan (al-hajat) dan keterpaksaan (ad-dariirat).

Rukhsah tidak disyariatkan karena sudah ada kepastian hukum sebelumnya yang disebut azimah (melakukan suatu perbuatan seperti apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT). Misalnya, berpuasa pada bulan Ramadan wajib bagi mukallaf (azimah), tetapi bisa dibayar pada hari lain jika mukallaf sedang dalam perjalanan atau sakit. Inilah yang disebut rukhsah. Contoh lainnya, memakan bangkai hukumnya haram (azimah). Tetapi dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa atau untuk berobat (rukhsah).

Jadi, rukhsah bukan berarti meminta kepada Allah SWT agar tidak dibebankan sesuatu karena apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sudah merupakan ketentuan umum yang harus dilaksanakan.

Hukum rukhsah, yakni al-ibahah (dibolehkan) secara mutlak sekadar kebutuhan atau karena sebatas keterpaksaan saja. Jika sudah tidak dibutuhkan lagi atau tidak ada keterpaksaan lagi, perbuatan itu kembali pada hukumnya yang semula (azimah).

Misalnya, memakan bangkai menjadi haram kembali bagi yang bersangkutan jika tidak dalam keadaan terpaksa atau tidak untuk obat. Demikian juga, orang yang berpuasa pada Ramadan menjadi wajib kembali bagi yang tidak musafir atau orang sakit.

Dalam ilmu ushul fikih, disebutkan beberapa alasan yang membolehkan rukhsah. Misalkan, rukhsah bukan bertujuan untuk berlaku zalim, berbuat dosa, atau meringan-ringankan suatu hukum yang sudah ringan. Hal ini seperti ditegaskan dalam Alquran, "Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan bangkai, sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya." (QS al-Baqarah [2]: 173).

Demikian juga, bagi orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dalam jarak dan kondisi yang ditentukan. Musafir diperbolehkan mengqashar (memendekkan) shalatnya hanya dalam kondisi tersebut. Firman Allah SWT, "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu." (QS an-Nisaa’ [4]: 101).

Di samping shalat, perintah puasa juga mendapatkan rukhsah jika tidak mampu menjalankannya pada Ramadhan. Mukallaf bisa membayarkan puasa pada hari lain jika tak sanggup berpuasa pada Ramadhan karena alasan bagi musafir atau sakit. (QS al-Baqarah [2]: 184).

Alasan dibolehkannya rukhsah lainnya bahwa rukhsah hanya sekadar menghilangkan kesulitan dan menghendaki keringanan sampai menemukan kelapangan sesudahnya. Dalam hal ini manusia boleh memilih apakah akan melakukan azimah (yang seharusnya) atau rukhsah (keringanannya).

Kendatipun demikian, pada dasarnya rukhsah itu dibolehkan hukumnya. Allah SWT berfirman, "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS al-Hajj [22]: 78). Pada dasarnya, Allah menginginkan kemudahan dan tidak ingin hamba-Nya kesusahan. Firman Allah SWT, "Allah menghendaki kemudahan untukmu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS al-Baqarah [2]: 185).

Ada beberapa sebab yang membolehkan rukhsah. Pertama, karena terpaksa (ad-dariirat) atau karena suatu kebutuhan (al-hajat). Misalnya, dibolehkan bagi seorang mukmin mengucapkan kalimat "saya telah kafir" karena dipaksa, asalkan hatinya tetap beriman. Demikian juga, hukum bagi mukallaf yang dibolehkan berbuka puasa pada Ramadhan karena sakit atau dalam perjalanan.

Kedua, rukhsah disebabkan uzur (halangan) yang menyulitkan. Misalnya, musafir dibolehkan mengqashar salat dan boleh berbuka bagi yang sakit pada Ramadhan. Ketiga, rukhsah untuk kepentingan orang banyak dan menghasilkan kebutuhan hidupnya. Misalnya, menyerahkan modal kepada seseorang untuk membuat suatu benda yang dipesan karena seseorang itu tidak beruang untuk menyelesaikan pesanan tersebut. Dalam Islam, perbuatan seperti ini diistilahkan dengan akad as-salam.

Cakupan rukhsah yang diberikan Allah SWT untuk hamba-Nya, yakni memberikan keringanan kepada mukallaf hanya pada saat-saat tertentu. Ia diperbolehkan melakukan yang diharamkan karena terpaksa, boleh meninggalkan yang diwajibkan karena ada uzur yang menyulitkan, dan boleh melakukan pengecualian sebagian akad dari prinsip-prinsip umum karena kebutuhan yang mendesak.

Dalam fikih terdapat kaidah "Yang darurat itu membolehkan yang dilarang". Ada juga kaidah yang menyebutkan "Tidak ada (dalam agama) yang susah dan yang menyusahkan". Kaidah ini hasil interpretasi ayat Alquran, "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (QS al-Insyirah [94]: 5). Ilmu ushul fikih juga melahirkan kaidah "Kesulitan itu membawa pada kemudahan". Di samping itu, prinsip ajaran Islam bertujuan menghilangkan kesulitan yang diistilahkan daf‘u al-haraj wa al-masyaqqat.

Para ulama Mazhab Hanafi membagi rukhsah dalam dua bagian. Pertama, rukhsah yang mengandung istihsan (mencari kebaikan). Kedua, rukhsah yang menggugurkan hukum azimah. Adapun mengandung istihsan maksudnya seorang mukallaf bisa memilih apakah melaksanakan yang azimah atau rukhsah. Namun, jika ia memilih melakukan rukhsah, itu lebih baik. Misalnya, tidak berpuasa pada Ramadhan bagi musafir lebih baik daripada berpuasa.

Sedangkan rukhsah yang menggugurkan hukum azimah, yaitu menjadikan hukum yang semula diharamkan menjadi dihalalkan karena rukhsah dalam keadaan tertentu. Misalnya, memakan bangkai dan meminum tuak yang pada dasarnya diharamkan menjadi dihalalkan saat keadaan tertentu. Alasannya, jika perbuatan ini tidak dilakukan, bisa membahayakan kesehatan atau bahkan nyawanya. 

Wallahu'alam bishowab

Tupon Setiawan - DKM Baitussalam PT Akebono Brake Astra Indonesia