Bagi kami, para marbot Masjid Astra, ada tiga warisan sifat almarhum yang sulit ditiru. Almarhumlah orang yang paling sederhana, teratur dan tegar. Itulah jejak abadi yang membuat kata ikhlas, terasa sangat berat.
Pak Luthfy adalah sosok yang paling bersahaja diantara kami. Perjalanan dari rumahnya di komplek Margahayu, Bekasi Timur selalu ditempuh dengan angkutan umum, padahal kendaraan roda empat terparkir di garasinya. "Lumayan Jar, bisa tidur dan berkali-kali mimpi," katanya ringan.
Contoh lain kesederhanaan Pak Luthfy yang mungkin tidak banyak diketahui, adalah fakta bahwa beliau tidak punya telepon seluler atau handphone. Lhaa... gimana dong itu kan bikin komunikasi ga lancar? õo°˚˚ºoooº°˚˚°ºõo˚ tidak. Katanya, kalau ada apa-apa ngomong saja langsung, mau apa, kapan, dimana, ga perlu pake pulsa buat telpon, SMS atau internetan. Dan kami semua jadi saksi, bahwa ketiadaan HP tidak membuatnya serba terbatas, justru beliaulah yang paling komitmen pada tugas, paling tepat waktu dan paling memegang janji.
Tauladan lain, adalah keteraturannya. Sebagai pengurus yang diamanahi di bagian administrasi keuangan masjid, beliau sadar betul mesti teratur. Pencatatan rutin, kontrol budget rutin dan laporan rutin adalah tugasnya, dan itu dipegang betul hingga akhir hayatnya. Buktinya pengurus teras YAA mungkin terkaget-kaget ketika menerima laporan rutin masjid pada bulan April kemarin, padahal semua tahu bahwa mantan manajer PT Gaya Motor itu tengah istirahat total pasca operasi pertamanya melawan kanker.
Pa Luthfy juga, yang merupakan sosok dibalik layar kekhasan pengumuman sebelum jumatan di Masjid Astra. Bila anda mendengar pengumuman penerimaan infak kotak amal, dimana jumlah setiap keping atau lembar pecahan uangnya disebutkan secara rinci, itu berkat catatan beliau. Bersama Pa Syarif, beliaulah yang memilah setiap rupiah donasi setelah jumatan usai.
Tentang ketegaran Pak Luthfy, mungkin Pak Pongki, Pak Riza, Pak Fachrial dan sederet penjenguk lainnya ketika sakit yang pantas bercerita. Betapa tak satupun keluhan keluar dari mulutnya. Padahal kanker menggerogoti hampir seluruh ususnya. Dialah yang sering menasehatkan sabar, bukan penjenguk-penjenguknya. Dia juga yang menghapus air mata istrinya, bukan sebaliknya.
Suara adzan adalah panggilan yang sangat dinantinya. "Hidup ini hakekatnya menunggu waktu shalat," ujarnya suatu ketika. Mungkin atas dasar itu pula, beliau memilih berkarir di masjid, agar lebih mudah sholat. Dan Rabu sore (13/6/2012) itu (seperti diungkapkan Pa Syaiful), ketika tanah mulai menutup jasad Pa Luthfy, serentak adzan Ashar berkumandang bersahutan di masjid-masjid sekitar. Rupanya panggilan suci itu, ikut mengantarnya bertemu sang Khalik. (GGM | 2012)