Demi nasib yang lebih baik, umumnya orang berbondong-bondong pindah ke kota, namun lain halnya dengan Khoiruddin. Dia malah memboyong istri dan tiga anaknya ke Sinarbaya, Karawang. Hiruk pikuk Tangerang dia tinggalkan lantaran kepincut suasana pedesaan.
Ceritanya dimulai tahun 1998, saat itu Khoiruddin merasa sakit yang sangat di organ jantungnya. Berbagai ikhtiar dia lakukan untuk mengobati sakitnya, tapi tak membuahkan hasil. Menuruti mimpinya, Khoiruddin pun pergi ke Sinarbaya untuk tetirah. Tak dinyana sakitnya malahan sembuh di desa terpencil itu. Kesembuhan itu membuat Khoiruddin memutuskan untuk menetap di desa itu, mulanya istri dan anaknya tak menyetujui, “Mertua sempat menolak, istri saya waktu itu sempat disuruh pulang ke Bogor,” ujarnya.
Untuk mencapai Sinarbaya perlu perjuangan ekstra, desa yang bersebelahan dengan KIIC Karawang itu belum beraspal, jalanan berbukit dan terjal itu praktis tidak bisa dilewati jika diterpa hujan. Kondisi itu diperparah dengan belum masuknya listrik, bila maghrib tiba Sinarbaya seolah lenyap ditelan malam. Rumah-rumah penduduk menyebar di area perbukitan itu, jarak satu rumah dengan yang lainnya relatif jauh. Bilik anyaman bambu menjadi material utama hampir semua rumah. Ketika mulai menetap, Khoiruddin sadar, ternyata problem di Sinarbaya bukan hanya masalah akses jalan dan listrik, tapi juga pendidikan. Hanya ada 2 lokal bangunan sekolah. Masalah lain datang dari siswanya, seringkali ketika musim panen pisang atau singkong tiba, siswanya lebih memilih ikut panen bersama orang tuanya. ”Waktu itu, siswa di sini datang sekolah semau-mau dia,” ujarnya. Kondisi itu membuat Khoiruddin merasa terpanggil, usaha pertama yang dia lakukan adalah mengaktifkan pengajian, bagaimanapun yang harus di rubah pertama kali adalah mental orang orang tua mereka. Sejak itu langgar kecil di perbukitan itu kembali ramai. Dengan semakin baiknya kesadaran orang tua, sekolah kecil di perbukitan Sinarbaya itu kembali bergairah, anak-anak Sinarbaya pun memenuhi sekolah, daya tampung sekolah pun tidak cukup lagi.
”Akhirnya saya nekat, modal proposal seadanya saya datangi perusahaan yang dekat Sinarbaya untuk mendirikan gedung sekolah,” tutur Khoiruddin. Dari hasil mengetuk pintu perusahaan, Khoiruddin berhasil mendirikan MI Al Hidayah, kini dua lokal bangunan yang yang terdiri dari empat kelas kokoh berdiri.
Prinsipnya apapun yang diberikan perusahaan saya terima, kotak sampah ini bantuan dari perusahaan, sofa ini juga, sebenarnya banyak barang-barang yang tak terpakai di perusahaan ternyata sangat berguna di sini,” kata Khoiruddin. ”Waktu itu saya sempat mendatangi Bapak Camat, alhamdulillah dari beliau saya dapat bantuan beras, tiap bulan saya ngambil beras dari kecamatan,” tambahnya.
Saat ini proses belajar di MI Al Hidayah sudah berjalan, siswa-siswa belajar bergiliran memakai ruang kelas yang bisa terpakai. Satu ruang kelas masih belum difungsikan lantaran belum ada kursi dan meja, ”Rizki untuk belajar anak-anak belum datang mas,” tutur Khoiruddin. Guru di Sinarbaya juga masih minim, hanya ada empat guru yang aktif. Susah mencari guru yang mau di tempatkan di tempat terpencil seperti Sinarbaya. Khoiruddin pun bersiasat, kini di istrinya pun diperankan menjadi guru.
Khoiruddin adalah sosok yang langka, keteguhannya berjuang membuat Sinarbaya berubah. Kini sudah ada beberapa lulusan MI Al Hidayah yang melanjutkan sekolah. Ketika ditanya kesannya mengabdi di daerah terpencil, Khoiruddin sontak menjawab, “Susah nyari baso mas, belum ada yang berani jualan di sini,” jawabnya sambil tertawa. (GGM | 2013)